Setiap tanggal 1 Muharram selalu diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai tahun baru Hijriyah, dan ini sekaligus mengingatkan umat Islam akan peristiwa besar, yaitu hijrahnya Nabi Muhammad SAW bersama sahabat-sahabatnya dari Makah ke Madinah 15 abad yang silam. Namun bagi masyarakat Banten peringatan 1 muharram 1438 hijriyah kali ini memiliki arti khusus yaitu memperingati pindahnya pusat pemerintahan Kesultanan Banten dari banten girang kedekat pelabuhan banten terjadi pada 1 Muharram 933 H atau bertepatan dengan 8 Oktober 1526 Masehi.
Sejarah mencatat bahwa dalam pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Jati menentukan posisi benteng, pasar dan alun-alun yang harus dibangun di dekat Kuala Sungai Banten yang kemudian diberi nama Surosowan. Tempat ini kemudian menjadi ibu kota Kerajaan Banten. Pemilihan Surosowan sebagai ibu kota Kesultanan Banten didasarkan atas pertimbangan karena daerah ini lebih mudah dikembangkan sebagai bandar perdagangan maritim. Pilihan ini ternyata membawa pengaruh terhadap perubahan politik dan perdagangan di Banten sehingga pada tahun 1552 Banten bukan sekedar pusat perniagaan saja, tetapi sekaligus menjadi kerajaan yang besar yang dipimpin oleh Sultan Maulana Hasanuddin.
Bersamaan dengan perkembangan kerajaan yang makin besar dan tangguh itu, Banten memiliki pelabuhan strategis yang sejajar dengan Pelabuhan Malaka. Untuk mendukung kemajuan pelabuhan itu Sultan Maulana Hasanuddin yang bergelar Sabakingking membangun proyek transportasi air. Konon proyek ini merupakan pembangunan yang monumental pada zamannya yaitu membelah sungai menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan transportasi khusus bagi kapal-kapal besar untuk mengangkut barang dan orang dalam jumlah besar pula, dan belahan lain merupakan anak sungai yang digunakan untuk tranportasi bagi perahu-perahu kecil berlayar.
Bandar Banten pada abad ke-16 sampai 19 merupakan salah satu bandar nusantara yang bertaraf internasional. Bukti-bukti sejarah menjelaskan bahwa Bandar Banten memegang peran cukup penting dalam dunia perniagaan. Letaknya yang strategis, antara Malaka dan Gresik, telah menjadikan sebagai salah satu bandar internasional yang berpengaruh di nusantara baik secara sosial, politik, ekonomi, budaya maupun agama. Kapal-kapal yang berlabuh di Bandar Banten berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan dari mancanegara, terutama Cina, India, Arab, dan kemudian Eropa.
Kapal-kapal itu tidak semata-mata membawa barang niaga dari negara atau daerahnya masing-masing, tetapi juga membeli komoditi yang berasal dari Kerajaan Banten atau daerah lain di sekitarnya. Dapat dipastikan, banten memiliki hubungan dengan daerah pendalaman sehingga berperan sebagai pintu gerbang bagi dunia luar. Di Bandar Banten terjadi interaksi sosial sehingga memperlancar kontak budaya yang berawal dari kegiatan ekonomi, dan berkembang kebidang-bidang lain dalam kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan kemajuan itu jumlah penduduk di Surosowan pun otomatis meningkat. Menurut catatan sejarah, selama masa Sultan Abdul Mahasin Zaenal Abidin di tahun 1694 dilakukan sensus penduduk kota. Dari catatan itu diberitakan bahwa kota Banten saat itu berpenduduk sekitar 31.848 jiwa. Keberadaan penduduk di Surosowan waktu itu telah menunjukan heteroginatas, karena mereka berasal dari berbagai suku bangsa di nusantara dan mancanegara.
Hal lain yang cukup menarik diungkapkan di sini bahwa Kesultanan Banten tidak hanya merupakan negara kota, tetapi juga mencakup wilayah-wilayah pertanian yang membentang dari Ujung Kulon hingga Tulangbawang Lampung, dari Pelabuhan Ratu hingga Silebar. Sebagai daerah pertanian, Sultan Banten memiliki kepedulian terhadap pembangunan pertanian. Proyek-proyek pertanian zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa sangat spektakuler. Di antaranya pada september 1659, Kyai Arya Mangun Jaya Menteri Negara Urusan Pertanian mengerakan semua kepala wilayah kerajaan di wilayahnya masing-masing mengajak warga menanam bibit kelapa dengan jumlah minimal 100 batang. Pohon-pohon kelapa itu harus ditanam di dekat sungai, sehingga mudah untuk disirami pada saat kemarau tiba. Contoh lain yang menarik adalah pada 1670-1672 pemerintah Banten menggali terusan baru antara Pontang dan Tanara di tepi laut kedaratan untuk meyuburkan dan meningkatkan produksi pertanian. Hal itu dimaksudkan dalam rangka membangun ketahanan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sultan juga membangun irigasi di sepanjang timur Teluk Banten yang panjangnya 9 km, lebar 6 meter dan ke dalaman hingga 4 meter. Kemudian dibangun pula 50-60 petak sawah yang mempraktekan pertanian sebenarnya.
Dalam rangka penguatan pelabuhan, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat orang-seorang syahbandar keturunan Tionghoa bernama Kaytsu untuk memulihkan perdagangan internasional. Syahbandar ini membuka hubungan dagang kesejumlah negara, antara lain dengan mengirimkan kapal niaga. Di masa pemerintahan Sultan Ageng dijalin hubungan kembali dengan Benggala, Cina, Vietnam, Taiwan bahkan Jepang. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1675 terdapat ratusan kapal asing yang masuk dan keluar dari Pelabuhan Banten. Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik, diplomasi maupun perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan. Bahkan pada zaman ini Banten memiliki dua orang duta besar untuk negara Inggris masing-masing bernama Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Wijaya Sedana dalam rangka memperkuat hubungan diplomatik dan perdagangan.
Banten pada zaman kesultanan telah memiliki peradaban yang maju, baik dilihat dari arsitektur kota, bangunan keraton, masjid, maupun dalam bentuk-bentuk kebudayaan lain. Banyak para ahli mengatakan bahwa arsitektur kota Banten telah menunjukkan kualitas khusus pada zamannya. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa pola perkembangan arsitektur di banten pada zaman itu tidak lepas dari pengaruh luar, terutama kebudayaan Islam yang menjadi landasan ideologi Kerajaan Banten. Dengan demikian berbagai bentuk peradaban Banten dapat dikatakan memiliki karakter Religius – Islami. Walapun demikian harus diakui pengaruh khazanah kebudayaan China dan Eropa yang menandakan bahwa masyarakat terbuka dan sangat toleran. Kiranya harus diakui bahwa salah satu daerah yang tidak pernah mengalami konflik sosial antar suku dan agama di nusantara ini, salah satunya adalah Banten.
Bagaimanapun kemajuan banten pada zaman itu merupakan khazanah dari kepemimpinan para sultan yang amanah, tanggung jawab dan memiliki komitmen moral terhadap kemajuan negara dan bangsa. Hal ini sepertinya penting direnungkan karena jati diri masyarakat banten adalah sejatinya seorang muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Dalam kesempatan ini, ingin saya sampaikan pula bahwa didirikannya Lembaga Pemangku Adat Kesulthanan Banten (LPAKB) dimaksudkan sebagai sarana penggalian dan pengembangan kebudayaan Banten yang lebih aktual dengan kebutuhan perkembangan zaman. Lembaga ini diharapkan menjadi mediasi hubungan kulturan antar daerah banten dengan daerah luar Banten dan negara-negara lain yang memiliki hubungan tradisi yang sama. Semoga kiranya Allah SWT meridhoi niat baik kita untuk menjadikan Lembaga Pemangku Adat Kesulthanan Banten bermanfaat bagi kemajuan Banten kini dan di masa yang akan datang, yang pada giliranya lembaga ini mampu merawat NKRI menuju Indonesia yang baldatun thoyyibatuun warrabbun ghofuur.
Dikutip dari Sambutan Ketua LPAKB pada Acara Pengukuhan Lembaga Pemangku Adat Kesulthanan Banten dan Milad Kesulthanan Banten ke-490 (08 Oktober 2016)
sumber gambar dari Google
sumber gambar dari Google
Posting Komentar